Masa Kaliyuga adalah masa ketika pemerintahan sudah sedemikian bobrok, rakyat dilanda kelaparan, kemiskinan dimana-mana, kejahatan dan maksiat terjadi di berbagai penjuru. Kerajaan Pajajaran pada masa itu diperintah oleh Prabu Nilakendra (1551-1567).
Frustasi akan kondisi tersebut, disertai dengan ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat mendorong raja beserta para pembesarnya untuk memperdalam aliran keagamaan Tantra.
Sekte Tantra adalah sekte yang melakukan meditasi dengan mempersatukan Yoni dan Lingga. Artinya meditasi dilakukan dengan melakukan hubungan antara laki laki dan perempuan. Shri Kertanegara dari Kerajaan Singhasari juga penganut ajaran ini.
"Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar"
(Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan).
Prabu Nilakendra lebih senang berpesta ketimbang mengurus rakyatnya yang sedang kesusahan. Ia selalu menggelar acara pesta pora, makan enak, disertai minum-minum tuak sampai mabuk.
Ia membuat bendera keramat, memperindah keraton dengan membangun taman berbalay / dihampari batu, mendirikan bangunan megah 17 baris yang dilukis dengan emas, yang dindingnya digambari dengan berbagai macam cerita.
Bagi Raja Pajajaran yang kelima ini, tidak ada ilmu yang disukainya kecualinya makanan lezat yang sesuai dengan kekayaannya. Pajajaran telah memasuki masa Kalyuga, dan tengah berada di ambang kehancurannya. Harta Kerajaan dihabiskannya untuk bersenang-senang dan mempercantik keraton.
Pada masa ini, serangan kembali datang dari pasukan tak dikenal yang secara membabi-buta menggempur ibukota Pakuan. Dalam serangan ini, Prabu Nilakendra terpojok tapi berhasil melarikan diri meninggalkan keraton Pakuan. Hingga saat ini, tidak diketahui dengan pasti kapan wafat dan dimana dimakamkannya. Atau mungkin juga ia meninggal di tengah hutan belantara dalam keadaan sengsara sebatang kara.
Peristiwa ini dikisahkan dalam Carita Parahyangan:
“Tohaan Majaya alah prangrang mangka tan nitih ring kadatwan”
(Tohaan Majaya kalah perang dan ia tidak tinggal di Keraton).
Nasib Pakuan sebagai ibukota Kerajaan Pajajaran diabaikan begitu saja, kelangsungannay dipercayakan pada semua pembesar yang tidak ikut melarikan diri bersamanya. Alhasil para pembesar itu pun dengan segala daya dan upaya berusaha mati-matian mempertahankan Pakuan dari serangan musuh.
Sekali lagi, berkat Benteng dan parit pertahanan yang dibangun oleh Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, Keraton Pakuan bisa diselamatkan.
Ikuti Episode lengkap Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran:
Bagian 1: Setelah Sri Baduga Wafat
Bagian 2: Serangan ke Pelabuhan
Bagian 3: Serangan pertama ke Pakuan
Bagian 4: Serangan kedua ke Pakuan
Bagian 5: Pajajaran Sirna
Sangat memilukan
Balas Hapus