Post Top Ad


Keengganan dan rasa hormat Cirebon pada Kerajaan Pajajaran mulai sirna setelah Sri Baduga Maharaja wafat. Mungkin hal ini muncul atas desakan untuk melakukan ekspansi perdagangan, karena serangan pertama yang dilakukan gabungan Cirebon - Demak adalah menaklukan pelabuhan-pelabuhan utama yang dikuasai Pajajaran.

Peperangan tersebut terjadi setelah Pajajaran dipimpin oleh Surawisesa , saudara satu ayah Walangsungsang, namun beda ibu yaitu Kentring Manik Mayang Sunda . Perang yang terjadi antara Cirebon dan Pajajaran diperkirakan berlangsung selama lima tahun.



Dalam Carita Parahyangan , peperangan tersebut terjadi selama 15 kali dan berakhir di sebelah barat Sungai Citarum. Saat itu, kedua pihak saling menunggu, bahkan gabungan pasukan Demak - Cirebon tidak berhasil menembus jantung pertahanan Pajajaran, begitu pun dengan pasukan Pajajaran yang tidak mampu merebut kembali pelabuhannya yang telah dikuasai mereka.

Di wilayah timur, Galuh berusaha menguasai Cirebon, pemimpin Galuh mengirmkan surat kepada Syarif Hidayatullah untuk bergabung dengan Galuh, mengingat Galuh adalah negara yang memiliki hak sejarah atas Cirebon.

Tapi permintaan untuk bergabung itu ditolah mentah-mentah oleh Syarif Hidayatullah, ia justru meminta bantuan Fadillah Khan untuk memperkuat Pakungwati. Fadillah Khan mengirimkan 700 orang pasukan untuk membantu pertahanan Cirebon.

Kekalahan fatal Pajajaran terjadi di wilayah timur. Cirebon berhasil mengalahkan Galuh di daerah Bukit Gundul Palimanan, kemudian merebut jantung pertahanan Galuh di Talaga. Perang antara Cirebon dan Galuh diperkirakan berlangsung antara tahun 1528 - 1530 M. Pada saat itu, Cirebon berhasil menguasai Galuh.

Perjanjian Damai
Kalahnya pasukan dari kerajaan Sunda di wilayah timur membuat Surawisesa harus mengambil langkah politis melalui perjanjian Perdamaian.

Niatan itu dilakukannya dengan mengirimkan utusan ke Pakungwati. Susuhunan Cirebon menerima tawaran damai tersebut, maka pada tahun 1531 terjadilah perdamaian.

Secara garis besar, isi dari perjanjian damai itu menyetujui bahwa kedua belah pihak (Cirebon dan Pajajaran) saling mengakui kedaulatan masing-masing, sederajat, dan bersaudara sebagai ahli waris Sri Baduga Maharaja.

Dalam suasana damai tersebut, Surawisesa membuat sebuah prasasti sebagai sakalala untuk mengenang kejayaan sang ayahanda Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi, sekaligus juga sebagai ungkapan kesedihan atas peperangan yang terjadi setelah Sri Baduga wafat.

Prasasti itu kemudian dikenal dengan nama Prasasti Batutulis, yang sejarahnya bisa dilihat lagi dalam tulisan berikut ini: Prasasti batutulis - Sejarah Bogor

Ikuti Episode lengkap Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran:

Bagian 1: Setelah Sri Baduga Wafat
Bagian 2: Serangan ke Pelabuhan
Bagian 3: Serangan pertama ke Pakuan
Bagian 4: Serangan kedua ke Pakuan
Bagian 5: Pajajaran Sirna



1 komentar:

  1. […] Bersambung ke Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran – Serangan ke Pelabuhan […]

    Balas Hapus

Post Bottom Ad

Pages