Pajajaran Sirna - Setelah serangan Banten yang kedua kalinya ke wilayah Pakuan, para tokoh yang pernah menjadi saksi dan penanda tangan perjanjian damai antara Pajajaran - Cirebon satu persatu menutup usianya, yaitu:
Panembahan Hasanudin kemudian digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf , putra dari hasil pernikahannya dengan putri Indrapura. Maulana Yusuf kelak menikah dengan Ratu Winaon dan berputrakan Pangeran Muhammad yang dikemudian hari akan mewarisi takhtanya. Makam Panembahan Yusuf terletak di luat Kota Banten yang dikenal dengan sebutan Pangeran Pasarean .
Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf membangun saluran-saluran dan benteng yang dibuat dari batu-bata mereh dan karang. Ia pun memperluas Masjid Agung yang dibangun Maulana Hasanudin, serta mendirikan Masjid di Kasunyatan. Di masa kepemimpinannya, Banten terkenal hingga ke penjuru dunia sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat dan perdagangan.
Panembahan Yusuf memiliki keinginan untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Jawa Barat. Ia pun memperkuat negaranya dan melakukan persiapan dengan sangat matang, terutama setelah kegagalan yang dialami pendahulu sewaktu menyerang Pakuan Pajajaran.
Serangan yang langsung dikomandoi oleh Panembahan Yusuf ini dilakukan setelah sembilan tahun beliau bertakhta di Kerajaan Surasowan. Dalam serangan ini, ia mendapat bantuan dari Kerajaan Cirebon sehingga disebut pula sebagai serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten :
Nalika kesah punika
Ing sasih muharam singgih
Wimbaning sasih sapisan
Dinten ahad tahun alif
Puningka sangkalanya
Bumi rusak rikih iki
(Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Adapun kondisi Pakuan Pajajaran setelah ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak lagi berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduknya telah mengungsi ke wilayah Pantai Selatan, dan membuat pemukiman baru di daerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan untuk mengungsi ke wilayah timur, dari mereka terdapat para pembesar kerajaan, senopati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.
Sebagian penduduk yang masih ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton memilih ikut mengungsi dengan satu-satunya Raja yang bersedia meneruskan takhta kerajaan, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana , putra dari Prabu Nilakendra. Mereka kemudian berangkat ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Namun begitu, tidak semua penduduk ikut mengungsi, sebagian memilih bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga serta mempertahankan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Meski tidak lagi berfungsi sebagai sebuah ibukota, namun kehidupan di Pakuan kembali pulih.
Prabu Ragamulya Suryakancana bersama para pengikutnya berupaya untuk menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, kali ini dengan ibu kota di Pulasari. Prabu Ragamulya adalah Raja Pajajaran yang bertakhta tanpa mahkota, karena semua perangkat dan atribut kerajaan telah dibawa oleh Senopati Jayaprekosa untuk diselamatkan.
Pemilihan Pulasari sebagai ibukota Pajajaran mungkin ada kaitannya dengan masih adanya raja daerah, Rajatapura, bekas ibukota Salakanagara. Tapi ada juga yang menyebut kalau Pulasari bukanlah ibukota sebagaimana yang lazim dalam sebuah pemerintahan, namun lebih condong sebagai Kabuyutan, atau daerah yang dikeramatkan. Daerah yang digunakan Suryakancana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Yosep Iskandar, : Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ket itik-asal (purbajati). Mungkin juga ia “mengetahui” melalui bacaan lontar, catatan tentang “Rajakasawa” yang mengisahkan “Karuhun” (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan “dorongan batin” yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Sementara itu di Pakuan, aktivitas berlangsung seperti biasa, namun sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat kedudukan untuk Raja Pajajaran beserta kerabat dan keluarganya. Keraton-keraton di Pakuan kini hanya berisi para pembesar yang dijaga oleh para pengawal dan prajurit yang tersisa. Walau Pakuan masih memiliki benteng dan parit pertahanan yang sangat kuat, namun sifat soliditias dan ketangguhan para prajurit membuat keraton ini masih kokoh berdiri.
Menurut versi Banten, hancurnya Pakuan adalah karena adanya penghianatan dari "orang dalam yang sakit hati", yang konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia meminta untuk bertugas menjaga pintu gerbang Pakuan yang berada di Lawang Gintung. Tanpa gerakan mencurigakan, ia membuka gerbang untuk dimasuki para pasukan Banten yang telah menunggu di luar gerbang pada malam hari.
Tak ayal lagi, setelah pintu gerbang terbuka, pasukan Banten mulai melancarkan serangan dan berhasil memporakporandakan Keraton Pakuan, lalu membakarnya. Terbukanya gerbang pakuan juga berarti maut bagi para penduduk yang tersisa, mereka dibinasakan tanpa ampun, rumah-rumah mereka turut dibakar.
Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
"Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala".
Yang artinya, Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Serangan itu juga terjadi pada Suryakancana dan para pengikutnya di Pulasari. Namun pada akhirnya, Ragamulya Suryakancana gugur di tangan pasukan Surosowan.
Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357) Berjuluk Prabu Wangi, penggantinya kemudin dikenal dengan julukan Prabu Siliwangi:
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Ikuti Episode lengkap Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran:
Bagian 1: Setelah Sri Baduga Wafat
Bagian 2: Serangan ke Pelabuhan
Bagian 3: Serangan pertama ke Pakuan
Bagian 4: Serangan kedua ke Pakuan
Bagian 5: Pajajaran Sirna
Bahan bacaan :
Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, jilid 4, 1983 – 1984.
Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar, Geger Sunten – Bandung, 1997
- Sanghiyang Surawisesa (Raja Pajajaran) yang wafat lebih dulu, tahun 1535 M.
- Susuhunan Jati, yang wafat pada tanggal 12 bagian terang bulan Badra tahun 1490 Saka atau 19 September 1568 M.
- Fadillah Khan, penerus Susuhunan Jati, wafat pada 1570 M.
- Panembahan Hasanudin, wafat pada 1570 M.
Panembahan Hasanudin kemudian digantikan oleh putranya, Panembahan Yusuf , putra dari hasil pernikahannya dengan putri Indrapura. Maulana Yusuf kelak menikah dengan Ratu Winaon dan berputrakan Pangeran Muhammad yang dikemudian hari akan mewarisi takhtanya. Makam Panembahan Yusuf terletak di luat Kota Banten yang dikenal dengan sebutan Pangeran Pasarean .
Pada masa pemerintahannya, Maulana Yusuf membangun saluran-saluran dan benteng yang dibuat dari batu-bata mereh dan karang. Ia pun memperluas Masjid Agung yang dibangun Maulana Hasanudin, serta mendirikan Masjid di Kasunyatan. Di masa kepemimpinannya, Banten terkenal hingga ke penjuru dunia sebagai pusat pemerintahan di Jawa Barat dan perdagangan.
Panembahan Yusuf memiliki keinginan untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh wilayah Jawa Barat. Ia pun memperkuat negaranya dan melakukan persiapan dengan sangat matang, terutama setelah kegagalan yang dialami pendahulu sewaktu menyerang Pakuan Pajajaran.
Serangan yang langsung dikomandoi oleh Panembahan Yusuf ini dilakukan setelah sembilan tahun beliau bertakhta di Kerajaan Surasowan. Dalam serangan ini, ia mendapat bantuan dari Kerajaan Cirebon sehingga disebut pula sebagai serangan besar-besaran ke Pakuan.
Serangan Banten ke Pakuan diabadikan dalam Serat Banten :
Nalika kesah punika
Ing sasih muharam singgih
Wimbaning sasih sapisan
Dinten ahad tahun alif
Puningka sangkalanya
Bumi rusak rikih iki
(Waktu keberangkatan itu – terjadi bulan muharam – tepat pada awal bulan – hari ahad tahun alif – inilah tahun sakanya – satu lima kosong satu).
Adapun kondisi Pakuan Pajajaran setelah ditinggalkan oleh Prabu Nilakendra, sudah tidak lagi berfungsi sebagai ibukota. Sebagian penduduknya telah mengungsi ke wilayah Pantai Selatan, dan membuat pemukiman baru di daerah Cisolok dan Bayah. Sebagian lagi meninggalkan Pakuan untuk mengungsi ke wilayah timur, dari mereka terdapat para pembesar kerajaan, senopati Jayaprakosa beserta adik-adiknya.
Sebagian penduduk yang masih ada pertalian darah kekerabatan dengan keluarga keraton memilih ikut mengungsi dengan satu-satunya Raja yang bersedia meneruskan takhta kerajaan, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana , putra dari Prabu Nilakendra. Mereka kemudian berangkat ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Namun begitu, tidak semua penduduk ikut mengungsi, sebagian memilih bertahan di Pakuan, bersama beberapa orang pembesar kerajaan yang ditugaskan menjaga serta mempertahankan keraton Sri Bima-Punta-Narayana-Madura-Suradipati. Meski tidak lagi berfungsi sebagai sebuah ibukota, namun kehidupan di Pakuan kembali pulih.
Prabu Ragamulya Suryakancana bersama para pengikutnya berupaya untuk menegakkan kembali Kerajaan Pajajaran, kali ini dengan ibu kota di Pulasari. Prabu Ragamulya adalah Raja Pajajaran yang bertakhta tanpa mahkota, karena semua perangkat dan atribut kerajaan telah dibawa oleh Senopati Jayaprekosa untuk diselamatkan.
Pemilihan Pulasari sebagai ibukota Pajajaran mungkin ada kaitannya dengan masih adanya raja daerah, Rajatapura, bekas ibukota Salakanagara. Tapi ada juga yang menyebut kalau Pulasari bukanlah ibukota sebagaimana yang lazim dalam sebuah pemerintahan, namun lebih condong sebagai Kabuyutan, atau daerah yang dikeramatkan. Daerah yang digunakan Suryakancana untuk lebih mendekatkan diri dengan Tuhan.
Menurut Yosep Iskandar, : Prabu Ragamulya Suryakancana seperti sudah mempunyai firasat, bahwa pusat kerajaannya harus di Pulasari Pandeglang. Mungkin berdasarkan petunjuk spiritual (uga), bahwa ia harus kembali ket itik-asal (purbajati). Mungkin juga ia “mengetahui” melalui bacaan lontar, catatan tentang “Rajakasawa” yang mengisahkan “Karuhun” (leluhur) Jawa Barat. Atau hanya berdasarkan “dorongan batin” yang ia miliki sebagai pewaris darah raja.
Sulit dibayangkan, sebab pusat kerajaannya yang baru, justru berdampingan dengan Kerajaan Surasowan. Yang pasti, Pulasari yang dijadikan ibukota Kerajaan Pajajaran tersebut adalah “patilasan” (bekas) pemukiman yang dahulu kala didirikan oleh Sang Aki Tirem Sang Aki Luhur Mulya dalam abad kedua Masehi. Di Pulasari pula Sang Dewawarman mendirikan Rajatapura, ibukota Salakanagara pada tahun 130 Masehi.
Sementara itu di Pakuan, aktivitas berlangsung seperti biasa, namun sudah tidak lagi digunakan sebagai tempat kedudukan untuk Raja Pajajaran beserta kerabat dan keluarganya. Keraton-keraton di Pakuan kini hanya berisi para pembesar yang dijaga oleh para pengawal dan prajurit yang tersisa. Walau Pakuan masih memiliki benteng dan parit pertahanan yang sangat kuat, namun sifat soliditias dan ketangguhan para prajurit membuat keraton ini masih kokoh berdiri.
Menurut versi Banten, hancurnya Pakuan adalah karena adanya penghianatan dari "orang dalam yang sakit hati", yang konon terkait dengan masalah jabatan. Saat itu ia meminta untuk bertugas menjaga pintu gerbang Pakuan yang berada di Lawang Gintung. Tanpa gerakan mencurigakan, ia membuka gerbang untuk dimasuki para pasukan Banten yang telah menunggu di luar gerbang pada malam hari.
Tak ayal lagi, setelah pintu gerbang terbuka, pasukan Banten mulai melancarkan serangan dan berhasil memporakporandakan Keraton Pakuan, lalu membakarnya. Terbukanya gerbang pakuan juga berarti maut bagi para penduduk yang tersisa, mereka dibinasakan tanpa ampun, rumah-rumah mereka turut dibakar.
Wangsakerta dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219. :
"Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa limangatus punjul siki ikang cakakala".
Yang artinya, Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka” bertepatan dengan tanggal 11 Rabiul’awal 987 Hijriyah, atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Serangan itu juga terjadi pada Suryakancana dan para pengikutnya di Pulasari. Namun pada akhirnya, Ragamulya Suryakancana gugur di tangan pasukan Surosowan.
Periode Kerajaan Galuh - Pakuan - Pajajaran - Sumedang Larang
1. Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
2. Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
3. Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
4. Rakeyan Banga (739 - 766)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
6. Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
10. Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
14. Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
15. Munding Ganawirya (964 - 973)
16. Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
17. Brajawisésa (989 - 1012)
18. Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
19. Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
20. Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
21. Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
22. Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
23. Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
24. Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
25. Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
26. Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
27. Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
28. Prabu Linggadéwata (1311-1333)
29. Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
30. Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
31. Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357) Berjuluk Prabu Wangi, penggantinya kemudin dikenal dengan julukan Prabu Siliwangi:
32. Prabu Bunisora (1357-1371)
33. Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
34. Prabu Susuktunggal (1475-1482)
35. Prabu Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
36. Prabu Surawisésa (1521-1535)
37. Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
38. Prabu Sakti (1543-1551)
39. Prabu Nilakéndra (1551-1567)
40. Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
41. Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M)
Ikuti Episode lengkap Hari-hari terakhir di Pakuan Pajajaran:
Bagian 1: Setelah Sri Baduga Wafat
Bagian 2: Serangan ke Pelabuhan
Bagian 3: Serangan pertama ke Pakuan
Bagian 4: Serangan kedua ke Pakuan
Bagian 5: Pajajaran Sirna
Bahan bacaan :
Rintisan penelusuran masa silam sejarah Jawa Barat, jilid 4, 1983 – 1984.
Sejarah Jawa Barat, Drs Yoseph Iskandar, Geger Sunten – Bandung, 1997
[…] .u74c77a8972d0bdd84f829d43330d1f88 , .u74c77a8972d0bdd84f829d43330d1f88 .postImageUrl , .u74c77a897… […]
Balas Hapus[…] Hari-hari terakhir di Pakuan – Pajajaran Sirna […]
Balas Hapus