Sejak dahulu Semplak dikenal sebagai nama salah satu pangkalan udara yang ada di Kota Bogor. Penggunaan nama ini sudah digunakan sejak masa Hindia-Belanda hingga pendudukan Jepang dan agresi militer Belanda di masa-masa setelah kemerdekaan. Sejak tahun 1966 nama pangkalan udara Semplak kemudian dirubah namanya menjadi Pangkalan TNI Angkatan Udara Atang Sendjaja.
Menurut tokoh masyarakat yang bermukim di sekitar daerah ini, Semplak memiiki makna somplak atau terpenggal. Kampung Semplak ini memang merupakan penggalan wilayah atau sisa wilayah Desa Bantar Kambing. Di masa lalu, Semplak berarti tanah sisa dan termasuk dalam wilayah Bantar Kambing.
Di daerah ini pula pada jaman dahulu banyak tanah-tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya lantaran merasa trauma dan ketakutan oleh intimidasi yang dilakukan penjajah. Bahkan tak sedikit pula para sesepuh yang mengaku lebih senang berada di zaman pendudukan Jepang dibandingkan ketika daerah mereka masih dikuasai oleh tentara Belanda.
Belanda di wilayah kami lebih kejam dan ganas, tetapi Jepang tidak seganas Belanda. Mungkin ini juga berkat do'a kami dan para ulama di sini. Kami selalu berdo'a agar pengganti Belanda tidak sekeji mereka dan pendudukannya tidak terlalu lama," kata Haji Sanusi, salah seorang sesepuh kampung Babakan Asli, Cimulang, Ranca Bungur seperti dikutip dari website tni-au.
Haji Sanusi juga merupakan salah satu pejuang yang pernah menyaksikan langsung jatuhnya pesawat Belanda yang tertembak oleh pesawat - pesawat Jepang saat berlangsungnya pertempuran memperebutkan Pangkalan Udara Semplak.
Lahan yang berada di sekitar Semplak dulunya merupakan daerah persawahan tadah hujan milik penduduk setempat. Hasil panennya cukup melimpah hingga menjadi komoditi utama bagi daerah ini. Pada awalnya pemerintah kolonial Hindia-Belanda ikut berpartisipasi dengan mengatus perairannya, namun setelah melihat hasil panen yang begitu berlimpah maka dibuatlah kebijakan dengan mengharuskan masyarakat membaya pajak penghasilan yang tinggi.
“Karena tidak sanggup, masyarakat terpaksa mengandalkan turunnya hujan, tetapi Belanda terus mengejarnya dengan peraturan-peraturan lain” Jelas Haji Sanusi. Teror demi teror menghantui masyarakat yang mengakibatkan masyarakat menjadi trauma. Masyarakat yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia merdeka kemudian bergabung dengan para pejuang untuk melawan sepak terjang Belanda dengan konsekuensi ditinggalkannya lahan-lahan persawahan milik mereka.
Mendapati banyaknya lahan-lahan pertanian yang kini tidak bertuan, pihak Belanda pun dengan mudahnya menguasai tanah yang subuh tersebut. Sedangkan masyarakat yang masih menetap dijadikan sapi perahan untuk mengelola lahan-lahan persawahan.
Kondisi yang sama juga ditemukan pada wilayah lain yang berada di sekitar Semplak seperti Ranca Bungur, Cimulang, Bantar Kambing, Parung, dan Lebak Wangi. Sebagian besar lahan-lahan subur yang ada di kawasan tersebut telah dikuasai oleh Belanda
Merasakan getirnya hal tersebut, banyak masyarakat yang akhirnya bergabung dengan para laskar dan pejuang untuk melakukan perlawanan.
Kedatangan Jepang di Semplak
Pada awalnya, kedatangan Jepang setelah berhasil mengalahkan Belanda dianggap sebagai kemenangan besar bari rakyat Indonesia. Jepang berusaha menarik simpati rakyat dengan menyebarkan berita-berita propaganda padahal tujuan mereka sebenarnya adalah menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Asia Timur raya di bawah kekuasaan kekaisaran Jepang dan bebas dari kekuatan negara-negara barat.
Begitu pula di Semplak, pada masa pendudukan Jepang, mereka memberikan perhatian penuh kepada masyarakat pribumi. Sebut saja tuan Kanai yang menduduki jabatan sebagai koordinator tuan tanah setelah wilayah Ranca Bungur di rebut dan dikuasai Jepang. Tuan kanai dengan penuh inovatis mengembangkan usaha perkebunan penduduk setempat. Dia juga banyak memperkenalkan tumbuh-tumbuhan yang potensial yang dapat memberikan keuntungan bagi para petani.
Sejak saat itu pula, banyak lahan persawahan yang kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan teh lalu dirubah lag menjadi perkebunan karet seperti yang bisa kita lhat sekarang di daerah Cimulang yang kini berada dalam pengelolaan PT Perkebunan VIII Cimulang, Bogor.
Penjajahan yang dilakukan oleh Jepang dan Belanda sebenarnya memberikan dampak yang sama saja. Keduanya sama-sama ingin mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya. Namun bagi penduduk sekitar, disambutnya Jepang lantaran mereka dianggap satu rumpun yaitu Asia. Bahkan kedatangan tentara dari negara matahari terbit itu membawa slogan sebagai "Penyelamat Asia" dari imperialisme barat khususnya Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Portugis, dan Belanda. Jepang mengenalkan mereka sebagai saudara tua yang akan segera membebaskan penderitaan bangsa-bangsa di Asia, khususnya Asia Tenggara dari cengkeraman penjajah barat. Tapi toh pada akhirnya, Jepang juga memiliki perilaku yang sama seperti para penjajah dari Barat dan Eropa.
Saksi sejarah lokal di sekitar wilayah Semplak juga bercerita tentang kondisi landasan udara yang cukup terkenal pada masa dahulu itu. Bapak Arnali (84 Th) mantan buruh perkebunan Cimulang yang tinggal di Kampung Bubud Legok salah satu kampung di sekitar Gunung Bubud mengatakan bahwa dalam penguasaan Belanda Semplak masih berupa landasan udara yang dibuat dari pengerasan tanah persawahan. Pembuatannya dikerjakan oleh masyarakat sekitar Semplak dengan sistem kerja paksa. “Landasannya dari tanah yang dikeraskan” tuturnya.
Pada masa penguasaan Belanda di Semplak belum banyak fasilitas yang dibangun. Menurut sesepuh masyarakat disini, pada masa Belanda di samping Landasan Udara juga dibangun sebuah hangar untuk menyimpan beberapa pesawat (sekarang disebut hanggar lengkung). Adapun kekuatan pesawat Belanda saat itu tidak kurang dari 4 sampai 5 pesawat saja, “Kami sering melihat pesawat mereka terbang mengelilingi wilayah kami, penumpangnya terkadang dua orang “, jelas Nohen, Amad, Anggal, Sanusi dan Arnali ketika diminta merinci pesawat yang dimaksud
Tokoh masyarakat tersebut juga menyebutkan pesawat-pesawat Belanda yang dimaksud tidak begitu bersuara keras, terkadang terlihat seperti melayang di Udara, sambil berputar-putar mengelilingi daerah sekitar Semplak, Sepetti Bantar Kambing, Cimulang, Rancabungur, Parung Panjang, Lebak Wangi.
Aktivitas penerbangan rutin dilaksanakan pada pagi hari dan kemudian dilanjutkan menjelang waktu sholat Ashar. “Pada jam-jam tersebut sepertinya Belanda tengah mengontrol kegiatan masyarakat di sekitar Sempak dari Udara”, tambahnya. Pesawat Belanda menjadi ‘momok’ masyarakat pribumi. Jangankan melihat dari dekat, mendongakkan kepala saja ketika pesawat tersebut melintas di atas rumah-rumah mereka dianggap suatu dosa yang dihindari.
“Kalau pesawat itu terbang, maka sirine meraung-raung dan seluruh masyarakat tidak boleh melihatnya”, seru Arnali yang pernah sekali-kali mencuri pandang untuk melihatnya.
Seperti yang diutarakan sebelumnya, Semplak memang sejak dahulu sudah dikenal. Di Semplak di samping terdapat landasan Udara juga terdapat sebuah pasar yang ramai dikunjungi masyarakat pribumi. Pasar itu bernama pasar Semplak. Adapun lokasi pasar yang dahulu, kini telah berubah menjadi lapangan tennis dan beberapa blok perumahan komplek Lanud Atang Sendjaja. Pasar yang menjadi tempat ‘kongkow-kongkow’ masyarakat kala itu, juga sering dijadikan tempat persinggahan upacara keagamaan masyarakat Cina di sekitar Ciampea, Ranca Bungur dan lainnya.
“Ogoh-ogoh (patung besar dari kertas) dan topekong diarak dari Ciampea sampai pasar Semplak biasanya ada pada hari keramat Cina”, ugkap Arnali yang sering meyaksikannya. Di sekitar areal pasar itu tumbuh sebuah pohon yang sampai saat ini melegenda bagi masyarakat asli sekitarnya. Untuk mengenang pohon tersebut, di sekitar Semplak terdapat jalan kampung yang diberi nama jalan Caringin
Pohon Caringin sebenarnya sama juga dengan pohon Beringin. Berdaun rindang, berbatang besar yang merupakan kumpulan dari akar-akarnya yang menjulur ke bawah dan kemudian menempel ke akar lainnya sampai membentuk batang. Begitu rindangnya pohon itu, sehingga sangat diminati masyarakat Semplak untuk sekedar berteduh sambil bersenda gurau, menghabiskan waktu. Pohon Caringin yang diceritakan itu kini telah ditebang dan untuk sekedar mengenangnya dinas pertamanan kota Bogor menanamnya kembali dipertigaan Tugu Heikopter. Banyak cerita yang terjadi di bawah pohon Caringin ini mulai dari cerita asmara, horor dan sebagainya
Para pelaku sejarah umumnya bercerita bahwa tentara Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dalam pertempuran memperebutkan landasan udara Semplak hanya dalam waktu satu hari. Padahal rencana kedatangan Jepang telah diperhitungkan oleh pihak Belanda. Mereka bahkan memerintahkan para penduduk untuk membuat sebanyak-banyaknya lubang perlindungan.
Serangan udara Jepang berlangsung di sekitar bukit Menir yaitu salah satu bukit yang letaknya di sekitar Gunung Bubut yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari landasan. Serangan tersebut terjadi pada pertengahan Oktober 1942, hari Kamis sekitar jam sebelas siang hari.
Pesawat Jepang yang jumlahnya kurang lebih tiga buah terlihat melintas di daerah tersebut dengan membentuk formasi bertingkat. Sesampainya di dekat landasan, pesawat-pesawat itu pun secera menembakkan senjata udara. Sebuah pesawat Belanda berusaha mengejar dan terjadilah pertempuran di udara yang kemudian menjatuhkan pesawat yang dipiloti oleh tentara Belanda tersebut. Konon kabarnya, pesawat itu jatuh di sekitar persawahan di dekat Setu Cimulang.
Mereka juga bercerita bahwa pesawat yang digunakan untuk menyerang Semplak memiliki sayap ganda, sedangkan pesawat milik Belanda yang jatuh tersebut kemungkinan dari jenis Auser Mark.
Bunyi sirene tanda adanya serangan Udara meraung-raung, membuat masyarakat menjadi kalang kabut. Sesaat berbagai aktivitas mendadak terhenti karena banyak orang yang menyelamatkan diri ke segala tempat yang dianggap aman termasuk bersembunyai di ‘bunker-bunker’ perlindungan. Sepi dan sedikit lengang suasana di sekitar wilayah Semplak saat itu, yang ada terlihat beberapa tentara Belanda hilir mudik menyelamatkan peralatan-peralatan tempurnya
Di dalam landasan itu sendiri, Belanda menempatkan dengan sedimikian rupa pesawat-pesawat tiruan yang terbuat dari kayu dan bilik bambu guna mengelabui Jepang. Pada kenyataannya Jepang terkecoh juga. Karena pada masa itu belum diciptakan kamera pemantau sasaran yang canggih,mengakibatkan Jepang hanya mengandalkan ‘teleskop’ manual untuk melihat lokasi yang dijadikan ajang pertempuran.
Jepang dengan penuh semangat memuntahkan peluru-peluru tajamnya dari Udara untuk menghabiskan pesawat Belanda yang sebetulnya telah diungsikan tadi. Menyaksikan yang diserang itu ternyata pesawat tiruan, maka Jepang sangat marah dan kemudian menyisir lokasi sekitar Semplak.
Ketika asyik berpatroli, tiba-tiba tentara Jepang dikejutkan dengan kehadiran sebuah pesawat Belanda dari arah belakang yang langsung menembaki pesawat-pesawat Jepang itu. Pesawat Jepang mengambil inisiatif berpencar yang kemudian akhirnya dapat merontokkan pesawat Belanda dan kemudian jatuh di sekitar Setu Cimulang.
Jatuh dan terbakarnya pesawat Belanda di sekitar Setu Cimulang membuat panik masyarakat sekitar. Para buruh karet yang kebanyakan warga sekitar berhamburan kembali ke rumahnya masing-masing untuk menyelamatkan diri dari pada harus menanggung resiko kalau dimintai keterangannya sebagai saksi jatuhnya pesawat Belanda di wilayah mereka.
Perlawanan Belanda berakhir dengan begitu saja setelah menyaksikan kepiawan tentara Jepang , maka Belanda dan kaki tangannya berangsur-angsur hengkang dari Semplak, sampai akhirnya tentara Jepang benar-benar menguasai penuh landasan Udara ini pada sekitar awal bulan November 1942.
Masyarakat bergembira menyambut kemenangan Jepang dan Jepang itu sendiri masih ‘malu-malu kucing’ untuk memperlihatkan dirinya sebagi penguasa tunggal.
Adapun langkah awal dalam masa peguasaannya, Jepang segera melatih pemuda-pemuda untuk dijadikan tentara-tentara bayangannya. Semua diciptakanya untuk membentuk ‘tameng’ atau tembok yang kuat selama masa pendudukannya di wilayah Semplak. Beberapa kegiatan warga yang terbelenggu pada masa Belanda berkuasa, seperti misalnya mengaji (membaca Al Qur’an), berceramah, serta lainnya, diberikan kelonggaran oleh Jepang.
Masyarakat sangat bersyukur dengan adanya kesempatan melaksanakan aktivitas tersebut, walaupun pada kenyataan akhirnya mereka juga sangat tersiksa oleh kuku penjajah Jepang, yang seperti kita ketahui bersama biarpun relatif singkat tetapi mampu membuat tidak berdaya seluruh lapisan masyarakat kita, dan bahkan terkadang lebih bengis dan ganas dibandingkan penjajah Belanda.
Dikuasainya Semplak oleh Republik
Dikuasainya landasan udara Semplak oleh para pejuang kemerdekaan tidak lepas dari cerita sejarah perjuangan rakyat Bogor dalam menghadapi penjajah. Dalam usaha mencapai kemerdekaan rakyat Jawa Barat, termasuk Bogor telah menukar cara perjuangan lama dengan cara perjuangan baru yaitu dalam bentuk pergerakan-pergerakan.
Dalam tulisannya yang berjudul “Sebuah Setudi Sedjarah Sekitar Lahirnya Divisi Siliwangi Pada Tanggal 20 Mei 1946”, yang dibahas dalam Seminar Sedjarah Nasional II, tanggal 26-29 Agustus 1970, Didi Surjadi, mengemukakan bahwa selepas kekalahan Jepang pada tentara Sekutu yang berdampak akan kembalinya Belanda melanjutkan kekuasaannya, membangkitkan kesadaran rakyat Jawa Barat khususnya Bogor untuk menyiapkan perjuangan bersenjata.
Oleh karena itu rakyat Jawa Barat khususnya para pemuda baik dalam jumlah kecil maupun perorangan dengan susah payah masuk dalam pendidikan militer seperti pendidikan KMA, Breda, Coro dan Hogere Krigschool, yang telah dibuka guna mengantisipasi bayangan perang dunia ke II. Diantara pemuda-pemuda tersebut terdapat nama-nama antara lain Didi Kartasasmita, R.M.A Rachmat Kartakusumah, A.H Nasution dan Suryadi Suryadarma. Para pemuda itu kelak dikemudian hari mempelopori perjuangan bersenjatapada awal revolusi di Jawa Barat.
Seorang tokoh sejarah Gatot Mangkupraja jauh-jauh hari pada masa Jepang telah mengantisipasi hal tersebut. Pemuda itu menuntut dibentuknya Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yaitu pada tanggal 3 Oktober 1943. Jepang menyetujuinya dan keluarlah ‘Osamu Seirei No.44’, yang mendasari terbentuknya PETA.
Setelah PETA terbentuk, maka dimulai dibuka pendidikan ketentaraan “Seinendodjo” di Tangerang dan kemudian dilanjutkan di Bogor. Adapun pemuda-pemuda yang dilatih di Bogor meliputi Gatot Mengkupraja, Arudji Kartawinata, Sukanda Bratamanggala, Kasman Singodimedjo dan Muljadi Djojomartono.
Disamping PETA dibentuk pula Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, Fidjinkai, Hisbullah, Suisintai dan Heiho. Semuanya dalam rangka persiapan untuk perjuangan di bidang bersenjata menyongsong dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Bogor merasa berkewajiban mempertahankan keutuhannya.
Dalam rangka upaya mempertahankan itu pada tanggal 2 September 1945 di bentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) propinsi Jawa Barat bersama dengan badan Keamanan Rakyat (BKR) nya. Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 menyempurnakan BKR dengan membentuk atau mengadakan Markas Tinggi Komandemen yang meliputi 3 Divisi yaitu ; Divisi I untuk Bogor dan Banten, Devisi II untuk Jakarta dan Cirebon, serta Divisi III untuk Priangan.
Pembinaan teritorial dan pembentukan pemerintahan militer oleh Pemerintah RI di Keresidenan Bogor baru dapat dilaksanakan pada bulan Juli 1949 yaitu dengan ditunjuknya Letnan Kolonel Kosasih sebagai Komandan Miliiter Daerah IV (KMD IV) oleh Panglima Divisi Siliwangi. Secara garis besar menurut Mayor Djenderal A.H. Nasution, dalam bukunya berjudul “TNI” yang diterbitkan Jajasan Poestaka Militer, Djakarta, 1956, Djilid 1, halaman 139 dan 140, disebutkan bahwa di Jawa Barat setelah itu di susun kurang lebih 15 Resimen untuk menjaga wilayah Jawa Barat.
Semplak yang merupakan bagian dari Bogor secara khusus termasuk dalam pengawasan Husein Sastranegara yang memegang jabatan sebagai Komandan Resimen II.
Kehadiran kembali Belanda telah menyulut semangat kebersamaan dan kekompakan seluruh komponen masyarakat Bogor yang sudah tidak ingin lagi menderita akibat kekejaman penjajahan. Kekacauan timbul silih berganti merongrong kewibawaan Belanda yang membuat mereka kewalahan menghadapinya. Seperti misalnya di Semplak yang diaktifkan Belanda kembali sebagai salah satu basis kekuatan untuk mempertahankan kedudukannya di Bogor, sehingga aktifitas pesawat Auster Skadron ke-enam yang ber-home base di sini terancam. Menghadapi hal tersebut landasan Semplak mendapat penjagaan ekstra ketat, dengan konsekuensi masyarakat sekitarnya menjadi semakin trauma dan ketakutan.
Melihat situasi Bogor semakin meruncing dan memanas, Pemerintah Daerah Bogor segera membentuk Dewan Bersama Daerah untuk mengurus pelaksanaan penghentian permusuhan, sebagai tindak lanjut apa yang dilakukan Pemerintah Pusat. Dewan ini bertugas untuk menampung semua persoalan untuk di bahas oleh kedua belah pihak (Belanda dan perwakilan masyarakat).
Keresidenan Bogor dengan wilayahnya Kota Bogor, Kabupaten Bogor (tanpa kewedanan Jasinga dan Bogor Timur), Kabupaten Sukabumi dan Cianjur diketuai Mayor Taswin Yang dalam melaksanakan tugasnya di Dewan tersebut dibantu oleh antara lain : Mayor R.S. Kosasih, Mayor Kemal Idris, Kapten Ulamat Kusumah, Letnan Dua Utut Zainuddin, Bupati Ipik Gandamana, Kepala Jawatan Penerangan R.I. Keresidenan Bogor Mohamad Nazir, serta Kepala Jawatan Penerangan Kota Bogor A. Rahman.
Di pihak Belanda diwakili Overste Jansen dan Major Pot. Tugas Dewan Bersama Daerah ini cukup efektif menekan permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat sampai hengkangnya kembali Belanda dari tanah air dan Pangkalan Semplak dapat dikuasai sepenuhnya lagi, oleh para pejuang Kemerdekaan Indonesia (TKR).
TKR sesuai isi Maklumat Pemerintah R.I. No. 6 tanggal 5 Oktober 1945 harus bertanggungjawab atas seluruh ketertiban dan kemanan Negara baik dari Darat, Laut dan Udara. Sejalan dengan hal itu maka seluruh Pangkalan-Pangkalan Udara yang telah di rebut dari Jepang berada dalam penguasaan TKR yang mewilayahi pangkalan tersebut dan selanjjutnya di serahkan kepada Markas Besar Umum di bidang penerbangan, sesuai Keputusan Konperensi Besar TKR seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 12 Nopember 1945.
Penyerahan pertama dilakukan oleh Panglima Divisi Yogyakarta Kolonel R.P. Sudarsono pada tanggal 17 Desember 1945. Pada tanggal itu secara resmi Pangkalan Udara Maguwo beserta segenap personel dan materiil penerbangan diserahkan kepada Markas Besar Umum di bidang penerbangan. Setelah Maguwo diserahkan, selanjutnya Panglima Divisi lainnya juga menyerahkan Pangkalan-Pangkalan Udara dalam teritorialnya kepada Markas Besar Umum di bidang penerbangan termasuk dalam hal ini Pangkalan Udara Semplak.
Setelah melaksanakan perjuangan bersenjata yang berat maka akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Pengakuan tersebut tepatnya dilakukan Belanda pada tangghal 27 Desember 1949, yaitu dengan ditandatanganinya hasil perundingan Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Hasil konferensi itu baik secara de facto maupun de jure menyebutkan berakhirnya masa kolonial Belanda di Indonesia, yang kemudian kedaulatan R.I tersebut diakui secara internasional.
Para penerbang Helikopter Mi-4 sedang menerima arahan dari Pimpinan AURI( Bpk Srimuljono Herlambang ) dalam suatu kunjungan kerja, di depan Heli Mil Mi-4 di Lanud Semplak, Bogor.
Dari hasil keputusan KMB kemudian dilanjutkan dengan penyerahan wewenang baik sipil maupun militer oleh pihak Belanda kepada bangsa Indonesia. Khusus di Pangkalan Udara Semplak, pada tanggal 20 Maret 1950, Belanda telah menyerahkan beberapa pesawatnya dari jenis Auster Mark bermotor tunggal X 130 pk Gipsy Majoor warisan dari 6e Artilery Verkenning Afdeling (ARVA) Skadron ke enam Luchtvaart Militaire Nederland untuk dioperasikan AURI.
Pesawat-pesawat yang telah diserahkan itu tidak seluruhnya berada dalam kondisi siap pakai, dimana perbaikan-perbaikan di sana-sini terpaksa dilakukan oleh teknisi-teknisi lokal kita pada masa itu. Walaupun hanya bermodalkan keahlian sekedarnya, teknisi kita mampu mengaktifkan kembali pesawat-pesawat tersebut sehingga dapat kita terbangkan lagi. Begitulah kenyataan dari loyalitas dan tanggung jawab yang muncul pada diri para pelopor AURI, telah mampu membuahkan hasil yang sangat dibanggakan.
Dengan dilandasi semangat pantang menyerah dan kesetiakawanan yang tinggi mereka mampu menghasilkan karya terbaiknya demi perkembangn AURI yang kita cintai bersama, yang semuanya patut kita hargai dan lestarikan bersama.
Penyerahan itu juga sesui hasil keputusan rapat Staf Angkatan Perang tanggal 25 Mei 1950, yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang No. 023/P/KSAP/1950, memutuskan antara lain bahwa lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada dilapangan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dalam rangka itu untuk menyelenggarakan hal tersebut di atas diadakan kerja sama yang erat antara Dinas Bangunan Tentara dan Jawatan Teknik Umum Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dibentuknya skuadron udara pertama
Setahun setelah penyerahan aset Belanda di Pangkalan Udara Semplak, maka sesuai pengumuman Kasau Nomor: 28/11/Peng/KS/51 tangga 21 Maret 1951, di Pangkalan Udara Semplak dibentuklah Skadron Udara 4 yang mengoperasikan pesawat Auster peninggalan Belanda tersebut.
Dalam buku Perkembangan Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdurahman Saleh Malang 1945-2000, halaman 75-79, disebutkan bahwa Skadron Udara 4 merupakan skadron bantuan bagi pasukan di darat untuk mengintai dan menuntun penembakan senjata arteleri. Skadron ini mulanya terdiri dari pesawat-pesawat Auster Mark bermotor tunggal X 130 dk Gipsy Majoor (Inggris), warisan dari 6e ARVA (Artillery Verkenneing Afdeling),Skadron ke enam dari Luchtvaart Militaire Nederland.
Penyerahan skadron dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 di Pangkalan Udara Semplak (sekarang Pangkalan TNI Angkatan Udara Atang Sendjaja) Bogor dari Luchtvaart Militaire Nederland. Berhubung semua anggota 6e ARVA Skadron adalah orang-orang Belanda, sehingga pada waktu penyerahan tidak ada yang mau masuk AURI. Sebagai konsekuensi tersebut maka Skadron ini dibangun dengan kekuatan inti dari mantan anggota Pangkalan Udara Gorda Banten, terutama dari anggota teknik dan penerbang.
Selain para teknisi dan penerbang dari Pangkalan Udara Gorda, perkembangan selanjutnya di Skadron Udara 4 ini juga telah ditempatkan penerbang lulusan SPL Kalijati (penerbang kelas III) antara lain; SMU Kasmoeri, SU Soempil Basoeki, SU Soedarman, SU Slamet Sutopo, SU Soetardjo, SU Soegianto, SU Walujo, SU Koesnidar, SU Maimoen Saleh, SU Abu Bakar, SU Moechtar dan SU Iskandar.
Pada tahap transisi para penerbang tersebut mendapat latihan awal dengan pesawat Piper Cub minimal 70 jam terbang di Kalijati, selanjutnya diteruskan menggunakan pesawat Auster lebih kurang 40 jam terbang. Latihan terbang solo dan air work selama 15 jam terbang, terbang formasi selama 10 jam. Terbang instrumen 5 jam, sehingga setelah menyelesaikan latihan tersebut seluruh penerbang dapat menjadi penerbang kelas II.
Dalam catatan sejarah perjalanan pengabdiannya, Skadron Udara 4 walaupun relatif masih muda kala itu, telah mampu melakukan operasi militer, SAR dan pemotretan Udara. Tugas-tugas tersebut antara lain :
Pada tahun 1951 membantu pasukan TNI AD di Tasikmalaya, Indramayu, Cirebon dan Gunung Galunggung untuk menumpas gerombolan DI/TII S.M Kartosuwirjo.
Pada bulan Nopember 1951 berhasil menemukan pusat gerombolan (lebih kurang 1000 orang) di lereng Gunung Malabar.
Melaksanakan SAR dan penyebaran pamflet.
Sampai pada akhirnya sejak tahun 1958 Skadron Udara 4 Intai Darat tidak aktif lagi di jajaran TNI Angkatan Udara. Selama berada di Pangkalan Udara Semplak Skadron Udara 4 pernah melaksanakan beberapa kali poergantian Komandan Skadron antara lain :
Kapten Udara Suhodo (1951-1953)
Kapten Udara Makki Perdanakusuma (1953-1954)
Kapten Udara Bill Sukamto (1954-1956)
Kapten Udara Suyitno Sukirno (1956-1957)
Letkol Udara Suwoto Sukendar (1957-1958)
Seperti telah disebutkan ternyata bahwa Pangkalan Udara Semplak sebelumnya bukan merupakan ‘home base’ pesawat helikopter. Tetapi Semplak merupakan ‘home base’ pesawat Auster peninggalan Belanda. Pesawat yang menjadi kekuatan Skadron Udara 4 saat itu yang mempunyai tugas pokok untuk melakukan pengintaian dan penuntunan penembakan senjata artileri. Adapun pejabat Komandan Pangkalan Udara Semplak pada sat itu adalah Letnan Udara I Dhumay Agam (1952-1954, kemudian digantikan oleh Kapten Udara A. Basuki (1956-1958).
Sejak tahun 1958 sampai dengan tahun 1985 Skadron Udara 4 Intai Darat tidak aktif di jajaran TNI Angkatan Udara, maka berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor : Kep/ 02 / I /1985 tanggal 17 Januari 1985, Skadron Udara 4 Intai Darat diaktifkan kembali dengan nama baru Skadron Udara 4 Angkut Ringan dan ber-home base di Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdurachman Saleh Malang.
Di Pangkalan Udara Semplak sendiri setelah tidak beroperasinya Skadron Udara 4 Intai Darat, maka kegiatan operasi penerbangan juga turut beku sesaat. Beberapa proyek pembangunan yang berhasil di catat penulis dari laporan Sub Dinas Pembinaan Barang Tidak Bergerak Dinas Fasilitas dan Konstruksi TNI AU (Subdis Bin BTB Disfaskonau), antara tahun 1945 sampai dengan 1965 telah dibangung beberapa fasilitas pangkalan antara lain Gudang Persenjataan, Mess Skadron Pendidikan 503 dibangun tahun 1945, kantor Dinas Operasi tahun 1946, gudang bahan makanan tahun 1950, kantor Perbekalan Umum tahun 1963, Hanggar Skadron Teknik 024 tahun 1965, kantor pemegang kas tahun 1965 dan renovasi hangar lengkung tahun 1965.
Sumber Referensi: tni-au.mil.id
Menurut tokoh masyarakat yang bermukim di sekitar daerah ini, Semplak memiiki makna somplak atau terpenggal. Kampung Semplak ini memang merupakan penggalan wilayah atau sisa wilayah Desa Bantar Kambing. Di masa lalu, Semplak berarti tanah sisa dan termasuk dalam wilayah Bantar Kambing.
Di daerah ini pula pada jaman dahulu banyak tanah-tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya lantaran merasa trauma dan ketakutan oleh intimidasi yang dilakukan penjajah. Bahkan tak sedikit pula para sesepuh yang mengaku lebih senang berada di zaman pendudukan Jepang dibandingkan ketika daerah mereka masih dikuasai oleh tentara Belanda.
Belanda di wilayah kami lebih kejam dan ganas, tetapi Jepang tidak seganas Belanda. Mungkin ini juga berkat do'a kami dan para ulama di sini. Kami selalu berdo'a agar pengganti Belanda tidak sekeji mereka dan pendudukannya tidak terlalu lama," kata Haji Sanusi, salah seorang sesepuh kampung Babakan Asli, Cimulang, Ranca Bungur seperti dikutip dari website tni-au.
Haji Sanusi juga merupakan salah satu pejuang yang pernah menyaksikan langsung jatuhnya pesawat Belanda yang tertembak oleh pesawat - pesawat Jepang saat berlangsungnya pertempuran memperebutkan Pangkalan Udara Semplak.
Lahan yang berada di sekitar Semplak dulunya merupakan daerah persawahan tadah hujan milik penduduk setempat. Hasil panennya cukup melimpah hingga menjadi komoditi utama bagi daerah ini. Pada awalnya pemerintah kolonial Hindia-Belanda ikut berpartisipasi dengan mengatus perairannya, namun setelah melihat hasil panen yang begitu berlimpah maka dibuatlah kebijakan dengan mengharuskan masyarakat membaya pajak penghasilan yang tinggi.
“Karena tidak sanggup, masyarakat terpaksa mengandalkan turunnya hujan, tetapi Belanda terus mengejarnya dengan peraturan-peraturan lain” Jelas Haji Sanusi. Teror demi teror menghantui masyarakat yang mengakibatkan masyarakat menjadi trauma. Masyarakat yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia merdeka kemudian bergabung dengan para pejuang untuk melawan sepak terjang Belanda dengan konsekuensi ditinggalkannya lahan-lahan persawahan milik mereka.
Mendapati banyaknya lahan-lahan pertanian yang kini tidak bertuan, pihak Belanda pun dengan mudahnya menguasai tanah yang subuh tersebut. Sedangkan masyarakat yang masih menetap dijadikan sapi perahan untuk mengelola lahan-lahan persawahan.
Kondisi yang sama juga ditemukan pada wilayah lain yang berada di sekitar Semplak seperti Ranca Bungur, Cimulang, Bantar Kambing, Parung, dan Lebak Wangi. Sebagian besar lahan-lahan subur yang ada di kawasan tersebut telah dikuasai oleh Belanda
Merasakan getirnya hal tersebut, banyak masyarakat yang akhirnya bergabung dengan para laskar dan pejuang untuk melakukan perlawanan.
Kedatangan Jepang di Semplak
Pada awalnya, kedatangan Jepang setelah berhasil mengalahkan Belanda dianggap sebagai kemenangan besar bari rakyat Indonesia. Jepang berusaha menarik simpati rakyat dengan menyebarkan berita-berita propaganda padahal tujuan mereka sebenarnya adalah menjadikan Indonesia sebagai bagian dari Asia Timur raya di bawah kekuasaan kekaisaran Jepang dan bebas dari kekuatan negara-negara barat.
Begitu pula di Semplak, pada masa pendudukan Jepang, mereka memberikan perhatian penuh kepada masyarakat pribumi. Sebut saja tuan Kanai yang menduduki jabatan sebagai koordinator tuan tanah setelah wilayah Ranca Bungur di rebut dan dikuasai Jepang. Tuan kanai dengan penuh inovatis mengembangkan usaha perkebunan penduduk setempat. Dia juga banyak memperkenalkan tumbuh-tumbuhan yang potensial yang dapat memberikan keuntungan bagi para petani.
Sejak saat itu pula, banyak lahan persawahan yang kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan teh lalu dirubah lag menjadi perkebunan karet seperti yang bisa kita lhat sekarang di daerah Cimulang yang kini berada dalam pengelolaan PT Perkebunan VIII Cimulang, Bogor.
Penjajahan yang dilakukan oleh Jepang dan Belanda sebenarnya memberikan dampak yang sama saja. Keduanya sama-sama ingin mengeruk keuntungan dari tanah jajahannya. Namun bagi penduduk sekitar, disambutnya Jepang lantaran mereka dianggap satu rumpun yaitu Asia. Bahkan kedatangan tentara dari negara matahari terbit itu membawa slogan sebagai "Penyelamat Asia" dari imperialisme barat khususnya Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Portugis, dan Belanda. Jepang mengenalkan mereka sebagai saudara tua yang akan segera membebaskan penderitaan bangsa-bangsa di Asia, khususnya Asia Tenggara dari cengkeraman penjajah barat. Tapi toh pada akhirnya, Jepang juga memiliki perilaku yang sama seperti para penjajah dari Barat dan Eropa.
Saksi sejarah lokal di sekitar wilayah Semplak juga bercerita tentang kondisi landasan udara yang cukup terkenal pada masa dahulu itu. Bapak Arnali (84 Th) mantan buruh perkebunan Cimulang yang tinggal di Kampung Bubud Legok salah satu kampung di sekitar Gunung Bubud mengatakan bahwa dalam penguasaan Belanda Semplak masih berupa landasan udara yang dibuat dari pengerasan tanah persawahan. Pembuatannya dikerjakan oleh masyarakat sekitar Semplak dengan sistem kerja paksa. “Landasannya dari tanah yang dikeraskan” tuturnya.
Pada masa penguasaan Belanda di Semplak belum banyak fasilitas yang dibangun. Menurut sesepuh masyarakat disini, pada masa Belanda di samping Landasan Udara juga dibangun sebuah hangar untuk menyimpan beberapa pesawat (sekarang disebut hanggar lengkung). Adapun kekuatan pesawat Belanda saat itu tidak kurang dari 4 sampai 5 pesawat saja, “Kami sering melihat pesawat mereka terbang mengelilingi wilayah kami, penumpangnya terkadang dua orang “, jelas Nohen, Amad, Anggal, Sanusi dan Arnali ketika diminta merinci pesawat yang dimaksud
Tokoh masyarakat tersebut juga menyebutkan pesawat-pesawat Belanda yang dimaksud tidak begitu bersuara keras, terkadang terlihat seperti melayang di Udara, sambil berputar-putar mengelilingi daerah sekitar Semplak, Sepetti Bantar Kambing, Cimulang, Rancabungur, Parung Panjang, Lebak Wangi.
Aktivitas penerbangan rutin dilaksanakan pada pagi hari dan kemudian dilanjutkan menjelang waktu sholat Ashar. “Pada jam-jam tersebut sepertinya Belanda tengah mengontrol kegiatan masyarakat di sekitar Sempak dari Udara”, tambahnya. Pesawat Belanda menjadi ‘momok’ masyarakat pribumi. Jangankan melihat dari dekat, mendongakkan kepala saja ketika pesawat tersebut melintas di atas rumah-rumah mereka dianggap suatu dosa yang dihindari.
“Kalau pesawat itu terbang, maka sirine meraung-raung dan seluruh masyarakat tidak boleh melihatnya”, seru Arnali yang pernah sekali-kali mencuri pandang untuk melihatnya.
Seperti yang diutarakan sebelumnya, Semplak memang sejak dahulu sudah dikenal. Di Semplak di samping terdapat landasan Udara juga terdapat sebuah pasar yang ramai dikunjungi masyarakat pribumi. Pasar itu bernama pasar Semplak. Adapun lokasi pasar yang dahulu, kini telah berubah menjadi lapangan tennis dan beberapa blok perumahan komplek Lanud Atang Sendjaja. Pasar yang menjadi tempat ‘kongkow-kongkow’ masyarakat kala itu, juga sering dijadikan tempat persinggahan upacara keagamaan masyarakat Cina di sekitar Ciampea, Ranca Bungur dan lainnya.
“Ogoh-ogoh (patung besar dari kertas) dan topekong diarak dari Ciampea sampai pasar Semplak biasanya ada pada hari keramat Cina”, ugkap Arnali yang sering meyaksikannya. Di sekitar areal pasar itu tumbuh sebuah pohon yang sampai saat ini melegenda bagi masyarakat asli sekitarnya. Untuk mengenang pohon tersebut, di sekitar Semplak terdapat jalan kampung yang diberi nama jalan Caringin
Pohon Caringin sebenarnya sama juga dengan pohon Beringin. Berdaun rindang, berbatang besar yang merupakan kumpulan dari akar-akarnya yang menjulur ke bawah dan kemudian menempel ke akar lainnya sampai membentuk batang. Begitu rindangnya pohon itu, sehingga sangat diminati masyarakat Semplak untuk sekedar berteduh sambil bersenda gurau, menghabiskan waktu. Pohon Caringin yang diceritakan itu kini telah ditebang dan untuk sekedar mengenangnya dinas pertamanan kota Bogor menanamnya kembali dipertigaan Tugu Heikopter. Banyak cerita yang terjadi di bawah pohon Caringin ini mulai dari cerita asmara, horor dan sebagainya
Para pelaku sejarah umumnya bercerita bahwa tentara Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dalam pertempuran memperebutkan landasan udara Semplak hanya dalam waktu satu hari. Padahal rencana kedatangan Jepang telah diperhitungkan oleh pihak Belanda. Mereka bahkan memerintahkan para penduduk untuk membuat sebanyak-banyaknya lubang perlindungan.
Serangan udara Jepang berlangsung di sekitar bukit Menir yaitu salah satu bukit yang letaknya di sekitar Gunung Bubut yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari landasan. Serangan tersebut terjadi pada pertengahan Oktober 1942, hari Kamis sekitar jam sebelas siang hari.
Pesawat Jepang yang jumlahnya kurang lebih tiga buah terlihat melintas di daerah tersebut dengan membentuk formasi bertingkat. Sesampainya di dekat landasan, pesawat-pesawat itu pun secera menembakkan senjata udara. Sebuah pesawat Belanda berusaha mengejar dan terjadilah pertempuran di udara yang kemudian menjatuhkan pesawat yang dipiloti oleh tentara Belanda tersebut. Konon kabarnya, pesawat itu jatuh di sekitar persawahan di dekat Setu Cimulang.
Mereka juga bercerita bahwa pesawat yang digunakan untuk menyerang Semplak memiliki sayap ganda, sedangkan pesawat milik Belanda yang jatuh tersebut kemungkinan dari jenis Auser Mark.
Bunyi sirene tanda adanya serangan Udara meraung-raung, membuat masyarakat menjadi kalang kabut. Sesaat berbagai aktivitas mendadak terhenti karena banyak orang yang menyelamatkan diri ke segala tempat yang dianggap aman termasuk bersembunyai di ‘bunker-bunker’ perlindungan. Sepi dan sedikit lengang suasana di sekitar wilayah Semplak saat itu, yang ada terlihat beberapa tentara Belanda hilir mudik menyelamatkan peralatan-peralatan tempurnya
Di dalam landasan itu sendiri, Belanda menempatkan dengan sedimikian rupa pesawat-pesawat tiruan yang terbuat dari kayu dan bilik bambu guna mengelabui Jepang. Pada kenyataannya Jepang terkecoh juga. Karena pada masa itu belum diciptakan kamera pemantau sasaran yang canggih,mengakibatkan Jepang hanya mengandalkan ‘teleskop’ manual untuk melihat lokasi yang dijadikan ajang pertempuran.
Jepang dengan penuh semangat memuntahkan peluru-peluru tajamnya dari Udara untuk menghabiskan pesawat Belanda yang sebetulnya telah diungsikan tadi. Menyaksikan yang diserang itu ternyata pesawat tiruan, maka Jepang sangat marah dan kemudian menyisir lokasi sekitar Semplak.
Ketika asyik berpatroli, tiba-tiba tentara Jepang dikejutkan dengan kehadiran sebuah pesawat Belanda dari arah belakang yang langsung menembaki pesawat-pesawat Jepang itu. Pesawat Jepang mengambil inisiatif berpencar yang kemudian akhirnya dapat merontokkan pesawat Belanda dan kemudian jatuh di sekitar Setu Cimulang.
Jatuh dan terbakarnya pesawat Belanda di sekitar Setu Cimulang membuat panik masyarakat sekitar. Para buruh karet yang kebanyakan warga sekitar berhamburan kembali ke rumahnya masing-masing untuk menyelamatkan diri dari pada harus menanggung resiko kalau dimintai keterangannya sebagai saksi jatuhnya pesawat Belanda di wilayah mereka.
Perlawanan Belanda berakhir dengan begitu saja setelah menyaksikan kepiawan tentara Jepang , maka Belanda dan kaki tangannya berangsur-angsur hengkang dari Semplak, sampai akhirnya tentara Jepang benar-benar menguasai penuh landasan Udara ini pada sekitar awal bulan November 1942.
Masyarakat bergembira menyambut kemenangan Jepang dan Jepang itu sendiri masih ‘malu-malu kucing’ untuk memperlihatkan dirinya sebagi penguasa tunggal.
Adapun langkah awal dalam masa peguasaannya, Jepang segera melatih pemuda-pemuda untuk dijadikan tentara-tentara bayangannya. Semua diciptakanya untuk membentuk ‘tameng’ atau tembok yang kuat selama masa pendudukannya di wilayah Semplak. Beberapa kegiatan warga yang terbelenggu pada masa Belanda berkuasa, seperti misalnya mengaji (membaca Al Qur’an), berceramah, serta lainnya, diberikan kelonggaran oleh Jepang.
Masyarakat sangat bersyukur dengan adanya kesempatan melaksanakan aktivitas tersebut, walaupun pada kenyataan akhirnya mereka juga sangat tersiksa oleh kuku penjajah Jepang, yang seperti kita ketahui bersama biarpun relatif singkat tetapi mampu membuat tidak berdaya seluruh lapisan masyarakat kita, dan bahkan terkadang lebih bengis dan ganas dibandingkan penjajah Belanda.
Dikuasainya Semplak oleh Republik
Dikuasainya landasan udara Semplak oleh para pejuang kemerdekaan tidak lepas dari cerita sejarah perjuangan rakyat Bogor dalam menghadapi penjajah. Dalam usaha mencapai kemerdekaan rakyat Jawa Barat, termasuk Bogor telah menukar cara perjuangan lama dengan cara perjuangan baru yaitu dalam bentuk pergerakan-pergerakan.
Dalam tulisannya yang berjudul “Sebuah Setudi Sedjarah Sekitar Lahirnya Divisi Siliwangi Pada Tanggal 20 Mei 1946”, yang dibahas dalam Seminar Sedjarah Nasional II, tanggal 26-29 Agustus 1970, Didi Surjadi, mengemukakan bahwa selepas kekalahan Jepang pada tentara Sekutu yang berdampak akan kembalinya Belanda melanjutkan kekuasaannya, membangkitkan kesadaran rakyat Jawa Barat khususnya Bogor untuk menyiapkan perjuangan bersenjata.
Oleh karena itu rakyat Jawa Barat khususnya para pemuda baik dalam jumlah kecil maupun perorangan dengan susah payah masuk dalam pendidikan militer seperti pendidikan KMA, Breda, Coro dan Hogere Krigschool, yang telah dibuka guna mengantisipasi bayangan perang dunia ke II. Diantara pemuda-pemuda tersebut terdapat nama-nama antara lain Didi Kartasasmita, R.M.A Rachmat Kartakusumah, A.H Nasution dan Suryadi Suryadarma. Para pemuda itu kelak dikemudian hari mempelopori perjuangan bersenjatapada awal revolusi di Jawa Barat.
Seorang tokoh sejarah Gatot Mangkupraja jauh-jauh hari pada masa Jepang telah mengantisipasi hal tersebut. Pemuda itu menuntut dibentuknya Tentara Pembela Tanah Air (PETA), yaitu pada tanggal 3 Oktober 1943. Jepang menyetujuinya dan keluarlah ‘Osamu Seirei No.44’, yang mendasari terbentuknya PETA.
Setelah PETA terbentuk, maka dimulai dibuka pendidikan ketentaraan “Seinendodjo” di Tangerang dan kemudian dilanjutkan di Bogor. Adapun pemuda-pemuda yang dilatih di Bogor meliputi Gatot Mengkupraja, Arudji Kartawinata, Sukanda Bratamanggala, Kasman Singodimedjo dan Muljadi Djojomartono.
Disamping PETA dibentuk pula Seinendan, Keibodan, Barisan Pelopor, Fidjinkai, Hisbullah, Suisintai dan Heiho. Semuanya dalam rangka persiapan untuk perjuangan di bidang bersenjata menyongsong dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Bogor merasa berkewajiban mempertahankan keutuhannya.
Dalam rangka upaya mempertahankan itu pada tanggal 2 September 1945 di bentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) propinsi Jawa Barat bersama dengan badan Keamanan Rakyat (BKR) nya. Maklumat Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945 menyempurnakan BKR dengan membentuk atau mengadakan Markas Tinggi Komandemen yang meliputi 3 Divisi yaitu ; Divisi I untuk Bogor dan Banten, Devisi II untuk Jakarta dan Cirebon, serta Divisi III untuk Priangan.
Pembinaan teritorial dan pembentukan pemerintahan militer oleh Pemerintah RI di Keresidenan Bogor baru dapat dilaksanakan pada bulan Juli 1949 yaitu dengan ditunjuknya Letnan Kolonel Kosasih sebagai Komandan Miliiter Daerah IV (KMD IV) oleh Panglima Divisi Siliwangi. Secara garis besar menurut Mayor Djenderal A.H. Nasution, dalam bukunya berjudul “TNI” yang diterbitkan Jajasan Poestaka Militer, Djakarta, 1956, Djilid 1, halaman 139 dan 140, disebutkan bahwa di Jawa Barat setelah itu di susun kurang lebih 15 Resimen untuk menjaga wilayah Jawa Barat.
Semplak yang merupakan bagian dari Bogor secara khusus termasuk dalam pengawasan Husein Sastranegara yang memegang jabatan sebagai Komandan Resimen II.
Kehadiran kembali Belanda telah menyulut semangat kebersamaan dan kekompakan seluruh komponen masyarakat Bogor yang sudah tidak ingin lagi menderita akibat kekejaman penjajahan. Kekacauan timbul silih berganti merongrong kewibawaan Belanda yang membuat mereka kewalahan menghadapinya. Seperti misalnya di Semplak yang diaktifkan Belanda kembali sebagai salah satu basis kekuatan untuk mempertahankan kedudukannya di Bogor, sehingga aktifitas pesawat Auster Skadron ke-enam yang ber-home base di sini terancam. Menghadapi hal tersebut landasan Semplak mendapat penjagaan ekstra ketat, dengan konsekuensi masyarakat sekitarnya menjadi semakin trauma dan ketakutan.
Melihat situasi Bogor semakin meruncing dan memanas, Pemerintah Daerah Bogor segera membentuk Dewan Bersama Daerah untuk mengurus pelaksanaan penghentian permusuhan, sebagai tindak lanjut apa yang dilakukan Pemerintah Pusat. Dewan ini bertugas untuk menampung semua persoalan untuk di bahas oleh kedua belah pihak (Belanda dan perwakilan masyarakat).
Keresidenan Bogor dengan wilayahnya Kota Bogor, Kabupaten Bogor (tanpa kewedanan Jasinga dan Bogor Timur), Kabupaten Sukabumi dan Cianjur diketuai Mayor Taswin Yang dalam melaksanakan tugasnya di Dewan tersebut dibantu oleh antara lain : Mayor R.S. Kosasih, Mayor Kemal Idris, Kapten Ulamat Kusumah, Letnan Dua Utut Zainuddin, Bupati Ipik Gandamana, Kepala Jawatan Penerangan R.I. Keresidenan Bogor Mohamad Nazir, serta Kepala Jawatan Penerangan Kota Bogor A. Rahman.
Di pihak Belanda diwakili Overste Jansen dan Major Pot. Tugas Dewan Bersama Daerah ini cukup efektif menekan permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat sampai hengkangnya kembali Belanda dari tanah air dan Pangkalan Semplak dapat dikuasai sepenuhnya lagi, oleh para pejuang Kemerdekaan Indonesia (TKR).
TKR sesuai isi Maklumat Pemerintah R.I. No. 6 tanggal 5 Oktober 1945 harus bertanggungjawab atas seluruh ketertiban dan kemanan Negara baik dari Darat, Laut dan Udara. Sejalan dengan hal itu maka seluruh Pangkalan-Pangkalan Udara yang telah di rebut dari Jepang berada dalam penguasaan TKR yang mewilayahi pangkalan tersebut dan selanjjutnya di serahkan kepada Markas Besar Umum di bidang penerbangan, sesuai Keputusan Konperensi Besar TKR seluruh Indonesia yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 12 Nopember 1945.
Penyerahan pertama dilakukan oleh Panglima Divisi Yogyakarta Kolonel R.P. Sudarsono pada tanggal 17 Desember 1945. Pada tanggal itu secara resmi Pangkalan Udara Maguwo beserta segenap personel dan materiil penerbangan diserahkan kepada Markas Besar Umum di bidang penerbangan. Setelah Maguwo diserahkan, selanjutnya Panglima Divisi lainnya juga menyerahkan Pangkalan-Pangkalan Udara dalam teritorialnya kepada Markas Besar Umum di bidang penerbangan termasuk dalam hal ini Pangkalan Udara Semplak.
Setelah melaksanakan perjuangan bersenjata yang berat maka akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia. Pengakuan tersebut tepatnya dilakukan Belanda pada tangghal 27 Desember 1949, yaitu dengan ditandatanganinya hasil perundingan Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Belanda. Hasil konferensi itu baik secara de facto maupun de jure menyebutkan berakhirnya masa kolonial Belanda di Indonesia, yang kemudian kedaulatan R.I tersebut diakui secara internasional.
Para penerbang Helikopter Mi-4 sedang menerima arahan dari Pimpinan AURI( Bpk Srimuljono Herlambang ) dalam suatu kunjungan kerja, di depan Heli Mil Mi-4 di Lanud Semplak, Bogor.
Dari hasil keputusan KMB kemudian dilanjutkan dengan penyerahan wewenang baik sipil maupun militer oleh pihak Belanda kepada bangsa Indonesia. Khusus di Pangkalan Udara Semplak, pada tanggal 20 Maret 1950, Belanda telah menyerahkan beberapa pesawatnya dari jenis Auster Mark bermotor tunggal X 130 pk Gipsy Majoor warisan dari 6e Artilery Verkenning Afdeling (ARVA) Skadron ke enam Luchtvaart Militaire Nederland untuk dioperasikan AURI.
Pesawat-pesawat yang telah diserahkan itu tidak seluruhnya berada dalam kondisi siap pakai, dimana perbaikan-perbaikan di sana-sini terpaksa dilakukan oleh teknisi-teknisi lokal kita pada masa itu. Walaupun hanya bermodalkan keahlian sekedarnya, teknisi kita mampu mengaktifkan kembali pesawat-pesawat tersebut sehingga dapat kita terbangkan lagi. Begitulah kenyataan dari loyalitas dan tanggung jawab yang muncul pada diri para pelopor AURI, telah mampu membuahkan hasil yang sangat dibanggakan.
Dengan dilandasi semangat pantang menyerah dan kesetiakawanan yang tinggi mereka mampu menghasilkan karya terbaiknya demi perkembangn AURI yang kita cintai bersama, yang semuanya patut kita hargai dan lestarikan bersama.
Penyerahan itu juga sesui hasil keputusan rapat Staf Angkatan Perang tanggal 25 Mei 1950, yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang No. 023/P/KSAP/1950, memutuskan antara lain bahwa lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada dilapangan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dalam rangka itu untuk menyelenggarakan hal tersebut di atas diadakan kerja sama yang erat antara Dinas Bangunan Tentara dan Jawatan Teknik Umum Angkatan Udara Republik Indonesia.
Dibentuknya skuadron udara pertama
Setahun setelah penyerahan aset Belanda di Pangkalan Udara Semplak, maka sesuai pengumuman Kasau Nomor: 28/11/Peng/KS/51 tangga 21 Maret 1951, di Pangkalan Udara Semplak dibentuklah Skadron Udara 4 yang mengoperasikan pesawat Auster peninggalan Belanda tersebut.
Dalam buku Perkembangan Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdurahman Saleh Malang 1945-2000, halaman 75-79, disebutkan bahwa Skadron Udara 4 merupakan skadron bantuan bagi pasukan di darat untuk mengintai dan menuntun penembakan senjata arteleri. Skadron ini mulanya terdiri dari pesawat-pesawat Auster Mark bermotor tunggal X 130 dk Gipsy Majoor (Inggris), warisan dari 6e ARVA (Artillery Verkenneing Afdeling),Skadron ke enam dari Luchtvaart Militaire Nederland.
Penyerahan skadron dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 di Pangkalan Udara Semplak (sekarang Pangkalan TNI Angkatan Udara Atang Sendjaja) Bogor dari Luchtvaart Militaire Nederland. Berhubung semua anggota 6e ARVA Skadron adalah orang-orang Belanda, sehingga pada waktu penyerahan tidak ada yang mau masuk AURI. Sebagai konsekuensi tersebut maka Skadron ini dibangun dengan kekuatan inti dari mantan anggota Pangkalan Udara Gorda Banten, terutama dari anggota teknik dan penerbang.
Selain para teknisi dan penerbang dari Pangkalan Udara Gorda, perkembangan selanjutnya di Skadron Udara 4 ini juga telah ditempatkan penerbang lulusan SPL Kalijati (penerbang kelas III) antara lain; SMU Kasmoeri, SU Soempil Basoeki, SU Soedarman, SU Slamet Sutopo, SU Soetardjo, SU Soegianto, SU Walujo, SU Koesnidar, SU Maimoen Saleh, SU Abu Bakar, SU Moechtar dan SU Iskandar.
Pada tahap transisi para penerbang tersebut mendapat latihan awal dengan pesawat Piper Cub minimal 70 jam terbang di Kalijati, selanjutnya diteruskan menggunakan pesawat Auster lebih kurang 40 jam terbang. Latihan terbang solo dan air work selama 15 jam terbang, terbang formasi selama 10 jam. Terbang instrumen 5 jam, sehingga setelah menyelesaikan latihan tersebut seluruh penerbang dapat menjadi penerbang kelas II.
Dalam catatan sejarah perjalanan pengabdiannya, Skadron Udara 4 walaupun relatif masih muda kala itu, telah mampu melakukan operasi militer, SAR dan pemotretan Udara. Tugas-tugas tersebut antara lain :
Pada tahun 1951 membantu pasukan TNI AD di Tasikmalaya, Indramayu, Cirebon dan Gunung Galunggung untuk menumpas gerombolan DI/TII S.M Kartosuwirjo.
Pada bulan Nopember 1951 berhasil menemukan pusat gerombolan (lebih kurang 1000 orang) di lereng Gunung Malabar.
Melaksanakan SAR dan penyebaran pamflet.
Sampai pada akhirnya sejak tahun 1958 Skadron Udara 4 Intai Darat tidak aktif lagi di jajaran TNI Angkatan Udara. Selama berada di Pangkalan Udara Semplak Skadron Udara 4 pernah melaksanakan beberapa kali poergantian Komandan Skadron antara lain :
Kapten Udara Suhodo (1951-1953)
Kapten Udara Makki Perdanakusuma (1953-1954)
Kapten Udara Bill Sukamto (1954-1956)
Kapten Udara Suyitno Sukirno (1956-1957)
Letkol Udara Suwoto Sukendar (1957-1958)
Seperti telah disebutkan ternyata bahwa Pangkalan Udara Semplak sebelumnya bukan merupakan ‘home base’ pesawat helikopter. Tetapi Semplak merupakan ‘home base’ pesawat Auster peninggalan Belanda. Pesawat yang menjadi kekuatan Skadron Udara 4 saat itu yang mempunyai tugas pokok untuk melakukan pengintaian dan penuntunan penembakan senjata artileri. Adapun pejabat Komandan Pangkalan Udara Semplak pada sat itu adalah Letnan Udara I Dhumay Agam (1952-1954, kemudian digantikan oleh Kapten Udara A. Basuki (1956-1958).
Sejak tahun 1958 sampai dengan tahun 1985 Skadron Udara 4 Intai Darat tidak aktif di jajaran TNI Angkatan Udara, maka berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Nomor : Kep/ 02 / I /1985 tanggal 17 Januari 1985, Skadron Udara 4 Intai Darat diaktifkan kembali dengan nama baru Skadron Udara 4 Angkut Ringan dan ber-home base di Pangkalan TNI Angkatan Udara Abdurachman Saleh Malang.
Di Pangkalan Udara Semplak sendiri setelah tidak beroperasinya Skadron Udara 4 Intai Darat, maka kegiatan operasi penerbangan juga turut beku sesaat. Beberapa proyek pembangunan yang berhasil di catat penulis dari laporan Sub Dinas Pembinaan Barang Tidak Bergerak Dinas Fasilitas dan Konstruksi TNI AU (Subdis Bin BTB Disfaskonau), antara tahun 1945 sampai dengan 1965 telah dibangung beberapa fasilitas pangkalan antara lain Gudang Persenjataan, Mess Skadron Pendidikan 503 dibangun tahun 1945, kantor Dinas Operasi tahun 1946, gudang bahan makanan tahun 1950, kantor Perbekalan Umum tahun 1963, Hanggar Skadron Teknik 024 tahun 1965, kantor pemegang kas tahun 1965 dan renovasi hangar lengkung tahun 1965.
Sumber Referensi: tni-au.mil.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar